Kegiatan Pay to Win di Luar Sekolah


Ini kegiatan pay to win di sekolah saya. Ini merupakan pengalaman saya pribadi.



Langsung saja, kegiatan pay to win ini yang saya maksudkan itu ialah kegiatan les di guru sekolah. Misal guru fisika kita pak Rusdi maka para siswa secara serentak akan mengadakan les di pak Rusdi tersebut. Sejauh paparan dari saya mengenail kegiatan belajar tambahan (les) tidak ada masalah, sampai anda ada tahu tentang cara kerja yang licik ini.

Jujur saya mengikuti les juga dari SMP hingga SMA kelas 1. Tujuan sebenarnya yaitu tidak lain dan tidak bukan ialah mencari kedekatan dengan guru pengajar dan mendapat nilai yang bagus. Awal mulanya saya tidak tahu esensi les di guru. Namun, pada saat ulangan terdapat soal yang sulit sekali dipecahkan dan guru pengajar tidak pernah menjelaskan sebelumnya. Saya Tanya kepada teman saya yang paham, ia menjelaskan kepada saya dengan lancer. Lalu saya Tanya kenapa bisa dia tau mengenai cara penyelesaian, dia menjawab bahwa jenis soal seperti ini sudah di jelaskan di les dan hanya mengganti angka angkanya saja. Dari situ saat SMP semester 2  kelas 1 saya mengikuti les. Tarifnya sebenarnya tidak terlalu mahal, yaitu 10 ribu per pertemuan.

Awal mula sebelum les, saya pernah menjawab soal dengan benar, namun ada coretan ( sebenarnya itu coretan di dapat karna saya salah hitung saja). Guru saya mempermasalahkan hal itu dan menyalahkan semua jawaban saya. Ia mengindikasi bahwa saya mencontek ke siswa lain. Itu alasan yang tidak masuk akal bagi saya, bagaimana bisa baru coretan salah hitung bisa ditebak seorang anak itu mencontek atau tidak.

Dari semester 2 kelas 1 SMP ranking saya terus masuk sepuluh besar karna mengikuti les seperti itu. Dan semester satunya tidak masuk 10 besar (karna tidak ikut les). Dengan hal yang sama saya lakukan juga pada kelas 1 SMA. Pada saat saya mulai berpikir bahwa kegiatan seperti ini tidaklah adil. Jadi guru sangat singkat menjelaskan materi di sekolah (itupun kalau hadir) dan sangat rajin saat les. Terus bagaimana dengan orang yang tidak mampu mengikuti kegiatan les yang berbayar tersebut? Tentu saja nilainya biasa biasa saja padahal sebenarnya mereka memiliki potensi. Maka dari itu saya mencoba untuk tidak mengikuti les selama sisa semester di sekolah dan saya ganti dengan belajar mandiri di rumah. And guess what? Awalnya saya peringkat 2 di kelas dan masuk 10 besar umum, dan makin bertambahanya semester, ranking saya terus turun. Dan pada akhirnya saya ranking 5 kelas dan 30 keatas ranking umum. Dengan saya buat frekuensi belajar yang sama dengan sebelumnya (tetap saja ranking saya turun terus). Langsung saya simpulkan bahwa nilai itu sama dengan kedekatan dengan guru tersebut (yang bisa didapat di les) dan tentunya sama dengan uang yang anda punya.

Bagi saya, percuma saja jika anda mengetahui jenis soal yang akan keluar saat test naum anda tidak paham maksud yang materi secara betul. Dan pada UN SMA saat dimana soal tidak dibuat guru les serta jenis soal tidak bisa ditebak oleh murid. Para murid yang di les itu benar benar kesulitan dalam menjawabnya. Dan puji syukur saat itu malah mendapat peringkat 4 umum nilai UN terbesar disekolah, menyalip belasan orang sekaligus. Saat lomba mewakili sekolah, justru saya yang ditunjuk untuk mengikuti olimpiade matematika. Padahal nilai matematika saya di rapot bisa dibilang masih kalah dengan siswa lain. Feels strange right?

Jadi kesimpulannya, nilai yang diberikan itu hampir semuanya fake. Banyak faktor yang memengaruhi serta ditambah manipulasi nilai atas dasar kedekatan dengan guru. Tapi jika test tidak dibuat oleh guru, mereka juga bingung menyelesaikannya bagaimana. Karena niat mereka dari awal itu ialah mencari nilai bukan seberapa paham tentang materi tersebut. Terima kasih pendidikan….


Comments

Popular posts from this blog

Teks Ulasan Karya Seni (Lukisan) TOM LEA : LIFE AND WORLD WAR

Resensi Novel Tuyet

Tugas Bahas Inggris Presentating Exposition Text : Smoking Should be Banned in Public Area